Translate

Mukaddimah

Assalaamu'alaikum wr wb.

Selamat datang di blog "Kantor Advokat/Hukum "Drs M Harun, SH & Rekan". Semoga ada kesan indah yang akan Anda dapatkan di blog ini. Aamiin!

Atas perhatian Anda, kami ucapkan banyak terima kasih.

Salam hormat kami,
Kantor Advokat/Hukum "Drs M Harun, SH dan Rekan"
Ringroad Selatan Ds Gonjen RT 05 No. 34
Tamantirto Kasihan Bantul DIY 55183 HP 0895 3093 9061 Email : harunmhmmd@gmail.com

Jumat, 05 Oktober 2012

Blogger "al-Qur'an dan Sains"

Blogger "al-Qur'an dan Sains" adalah blog khusus yang menampilkan info mengenai kesesuaian antara teks-teks al-Qur'an dan penemuan-penemuan Sains Moderen, dan info-info lainnya yang islami. Berminat bergabung/menjadi member? Klik url ini --> http://mharunn.blogspot.com

Di blogger ini, Anda dapat menyampaikan komentar dan berbagi pemikiran serta berdiskusi dengan sesama member. Mari belajar bersama, ngaji bersama.

Komplain dan Permintaan Klarifikasi kepada Kepolisian

Jumat, 05 Oktober 2012
 
Pertanyaan:
Cara-cara dan Tempat Menyampaikan Komplain atas Pelayanan Polisi
Upaya hukum apa yang dapat dilakukan apabila penyidik kepolisian tidak menindaklanjuti laporan kita? Terima kasih.

Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4fbded50bf741/lt4fcc5e79a314b.jpg
Dalam praktik hukum acara pidana dikenal adanya istilah laporan dan pengaduan. Apa perbedaannya? Pengertian laporan berdasarkan Pasal 1 angka 24 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
 
Sedangkan, pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya (Pasal 1 angka 25 KUHAP). Lebih lanjut Anda dapat membaca artikel Perbedaan Pengaduan dengan Pelaporan.
 
Salah satu kewenangan polisi adalah menerima laporan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU Kepolisian”). Melayani masyarakat merupakan tugas utama polisi (lihat Pasal 13 huruf c jo. Pasal 14 ayat (1) huruf k UU Kepolisian).
 
Pengaturan lebih lanjut mengenai laporan tindak pidana diatur dalam Perkapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (“Perkapolri 14/2012”). Ketika masyarakat melakukan pelaporan, maka polisi akan membuat laporan polisi berdasarkan laporan masyarakat yang disebut dengan Laporan Model B (Pasal 5 ayat (3) Perkapolri 14/2012).
 
Memang sudah sepatutnya laporan mengenai suatu tindak pidana ditindaklanjuti oleh polisi. Akan tetapi, terkadang laporan tersebut tidak kunjung mengalami perkembangan. Pelapor dalam hal ini dapat melakukan upaya pengaduan masyarakat (“Dumas”) sebagaimana diatur dalam Perkapolri No. 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penanganan Pengaduan Masyarakat di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 2/2012”).
 
Menurut Pasal 4 ayat (1) Perkapolri 2/2012 Dumas dapat disampaikan langsung maupun tidak langsung.
 
Dumas secara langsung (Pasal 4 ayat [2] Perkapolri 2/2012), merupakan pengaduan yang disampaikan oleh pengadu secara langsung melalui:
a. Sentra Pelayanan Dumas; dan
b. setiap Pegawai Negeri pada Polri.
 
Sedangkan, Dumas secara tidak langsung, merupakan pengaduan yang disampaikan oleh pengadu melalui:
1.    surat
2.    Tromol Pos 7777 atau kotak pos Dumas Mabes Polri atau pada masing-masing kesatuan kewilayahan;
3.    website dan e-mail Polri;
4.    telepon, faksimili, atau SMS;
5.    media massa dan jejaring sosial;
6.    surat Dumas melalui lembaga kemasyarakatan:
a.    Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM); dan
b.    Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau Advokat;
7.    surat Dumas melalui Tokoh Agama (Toga), Tokoh Masyarakat (Tomas), Tokoh Adat (Todat), atau Tokoh Pemuda (Toda)
 
Dumas dapat disampaikan secara langsung maupun tidak langsung mengenai komplain atau ketidakpuasan terhadap pelayanan anggota Polri dalam pelaksanaan tugas, serta permintaan klarifikasi atau kejelasan atas penanganan perkara yang ditangani Polri atau tindakan kepolisian (Pasal 5 huruf a dan d Perkapolri 2/2012).
 
Dumas dapat disampaikan kepada Sentra Pelayanan Dumas mulai dari tingkat Polsek hingga tingkat Mabes Polri (Pasal 6 ayat (1) Perkapolri 2/2012).
 
Penanganan dumas ditangani oleh pihak-pihak yang diatur dalam Pasal 24 Perkapolri 2/2012 yaitu
a.     Itwasum Polri, untuk lingkungan Polri;
b.    Biro Pengawasan Penyidikan (Rowassidik) Bareskrim Polri, untuk lingkungan Bareskrim Polri;
c.    Bagian Pelayanan Pengaduan (Bagyanduan) Divpropam Polri, untuk lingkungan Divpropam
      Polri;
d.    Itwasda, untuk lingkungan Polda, Polres, dan Polsek;
e.    Bagwassidik Polda, untuk lingkungan Ditreskrim Polda;
f.     Bidpropam Polda, untuk lingkungan Bidpropam Polda; dan
g.    Siwas, untuk lingkungan Polres dan Polsek.
 
Jadi, pelapor yang laporannya tidak ditindaklanjuti oleh polisi dapat melakukan upaya pengaduan masyarakat melalui cara yang telah dijelaskan sebelumnya. Pengaduan masyarakat dapat ditujukan untuk komplain atau ketidakpuasan terhadap pelayanan anggota Polri dalam pelaksanaan tugas, serta permintaan klarifikasi atau kejelasan atas penanganan perkara yang ditangani Polri.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
3.    Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara 
     Penanganan Pengaduan Masyarakat di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia
 
   @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4b46e0113e026.gif
136 hits
Di: Hukum Pidana
sumber dari: Bung Pokrol
Share:

Kamis, 04 Oktober 2012

Hak Milik atas Tanah bagi Orang Asing dan WNI yang Kehilangan Kewarganegaraannya

Ketentuan Pasal 21 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (“UU PA”):
Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga-negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.

Beberapa Syarat Melakukan Pembagian Waris

Beberapa syarat-syarat untuk melakukan Pembagian Waris, seperti:
 
1)    Adanya Pewaris. Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan. Syarat menjadi Pewaris adalah dinyatakan telah meninggal.
2)    Adanya Ahli Waris. Yaitu orang yang berhak menerima harta warisan. Dan Ahli Waris ini juga memiliki persyaratan:
a. Hidup
b. Antara Pewaris dan Ahli waris terdapat hubungan saling mewarisi yang ditimbulkan oleh adanya perkawinan atau pertalian nasab.
3)    Adanya Harta Warisan. Yaitu harta yang ditinggalkan si Pewaris untuk dibagikan kepada ahli waris, setelah dikurangi utang dan wasiat.
4)    Tidak terdapat penghalang (hijab) dalam warisan. Yaitu suatu kondisi, dimana sekalipun secara lahiriah antara pewaris dan ahli waris memenuhi syarat untuk saling mewarisi, namun bisa saja terhalang karena faktor-faktor seperti, perbedaan agama, pembunuhan yang dilakukan secara sengaja terhadap Pewaris atau terdapat ahli waris lain yang lebih berhak.

Putusan Mahkamah Agung No. 1386 K/Pid.Sus/2011 (Penyalahgunaan Wewenang dalam Upaya Pemberantasan Narkotika)

Oleh Sidiq Yudhi Arianto
dalam Hukum Online

Sudah menjadi rahasia umum bahwa tak jarang terjadi penyalahgunaan wewenang dalam upaya pemberantasan narkotika. Salah satu bentuk penyalahgunaan wewenang tersebut yaitu dengan menjerat pengguna narkoba dengan ketentuan yang jauh lebih berat, yaitu pasal 112 UU 35 Tahun 2009 (memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan narkotika golongan I secara melawan hukum)  yang diancam dengan ancaman hukuman penjara minimal 4 tahun, maksimal 12 tahun, dan denda minimal Rp 800 juta, maksimal Rp 8 milyar. Padahal untuk pengguna (penyalahguna) narkotika untuk penggunaan narkotika golongan I ancaman maksimumnya hanya 4 tahun tanpa denda. Penyalahgunaan wewenang juga umumnya terjadi sebaliknya, yaitu pengedar dikenakan pasal pengguna. Dalam kasus ini tampaknya pengadilan mencium dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk yang pertama, yaitu seorang pengguna didakwa dengan pasal 112.

Kasus ini berawal dari secara tiba-tiba terdakwa ditangkap oleh beberapa orang polisi setelah sebelumnya terdakwa membeli 0,2 gram shabu-shabu dari seorang bandar. Dalam dakwaan tidak dijelaskan bagaimana pihak kepolisian tersebut bisa mengetahui bahwa terdakwa sebelumnya telah membeli shabu-shabu tersebut, penuntut umum hanya menjelaskan saat digeledah di saku kirinya ditemukan 1 paket shabu-shabu seberat 0,2 gram.

Dalam dakwaannya Penuntut Umum mendakwa terdakwa dengan dakwaan subsidiaritas dimana dalam dakwaan pertama terdakwa didakwa dengan pasal 112 ayat 1, dan dakwaan subsidair dengan pasal 127 (pengguna). 

Di tahap penuntutan Penuntut Umum menuntut terdakwa terbukti atas dakwaan primair dan menuntut terdakwa dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 800 juta. Atas tuntutan tersebut pengadilan menyatakan terdakwa terbukti melanggar UU Narkotika, namun dakwaan yang menurut pengadilan terbukti bukanlah dakwaan primair akan tetapi dakwaan subsidair. Putusan ini kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi dengan memperberat hukuman dari sebelumnya 10 bulan penjara menjadi 1,5 tahun.

Atas putusan PT ini Penuntut Umum mengajukan permohonan Kasasi. Alasan utama permohonan kasasi PU tersebut intinya yaitu judex facti salah dalam menerapkan hukum dengan menjatuhkan putusan yang hanya menghukum terdakwa dengan dakwaan subsidair oleh karena pada saat ditangkap tidak ditemukan peralatan untuk menggunakan shabu-shabu serta terdakwa menolak dilakukan test urine, sehingga menurut PU seharusnya terdakwa tidak dihukum sebagai penyalahguna melainkan pasal 112.

Atas alasan kasasi tersebut Mahkamah Agung menolaknya. Yang menarik dalam pendapatnya MA menyatakan bahwa walaupun  unsur-unsur dalam pasal 112 juga terbukti, yaitu memiliki dan  atau menguasai narkotika namun MA menyatakan bahwa dalam melihat unsur tersebut harus dipertimbangkan juga maksud dan tujuan atau konteks penguasaan maupun kepemilikan narkotika tersebut, apakah dimaksudkan untuk digunakan sendiri atau diperjualbelikan.

Selain itu MA juga dalam pertimbangannya memberikan pertimbangan yang seakan mengkritik praktek yang selama ini dilakukan oleh para penyidik dalam perkara narkotika, dimana MA menyatakan bahwa sering kali terjadi ketidakjujuran penyidik dalam kaitannya dengan test urine, dimana tidak dilakukannya test urine terjadi karena untuk menghindari diterapkannya pasal 127 UU narkotika terhadap pengguna.

Pertimbangan-pertimbangan ini menurut saya penting untuk memberikan kejelasan kapan kepemilikan atau penguasaan narkotika dapat dianggap memenuhi pasal 112, kapan dianggap memenuhi pasal 127. Dengan demikian diharapkan penegakan hukum menjadi lebih tepat sasaran, tidak asal untuk menjatuhi hukuman seberat-beratnya belaka.

Berikut kutipan pertimbangan hukum Mahkamah Agung:

Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :

Bahwa alasan-alasan kasasi Jaksa Penuntut Umum bahwa sesuai fakta hukum di persidangan Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009, bukan ketentuan Pasal 127 ayat (1) huruf a sebagaimana dalam putusan a quo.

Bahwa Judex Facti /Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan ketentuan Pasal 127 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 dalam memeriksa dan memutus perkara a quo dengan alasan-alasan ;
  1. Jumlah jenis narkotika yang di temukan pada diri Terdakwa hanya seberat 0.2 gram yang dibeli Terdakwa dari seseorang bernama Ganjar Raharjo;
  2. Terdakwa membeli narkotika bukan untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan, melainkan untuk digunakan;
  3. Terdakwa yang bermaksud untuk menggunakan atau memakai narkotika tersebut, tentu saja menguasai atau memiliki narkotika tersebut, tetapi kepemilikan dan penguasaan narkotika tersebut semata-mata untuk digunakan. Sehubungan dengan hal tersebut maka harus dipertimbangkan bahwa kepemilikan atau penguasaan atas suatu narkotika dan sejenisnya harus dilihat maksud dan tujuannya atau kontekstualnya dan bukan hanya tekstualnya dengan menghubungkan kalimat dalam Undang-Undang tersebut;
  4. Dalam proses hukum penyidikan, polisi sering kali menghindari untuk dilakukan pemeriksaan urine Terdakwa, sebab ada ketidakjujuran dalam penegakan hukum untuk menghindari penerapan ketentuan tentang penyalahgunaan narkotika, meskipun sesungguhnya Terdakwa melanggar pasal 127 ayat (1) Undang-Undang No.35 tahun 2009;
  5. Oleh karena itu, kepemilikan atau penguasaan narkotika seberat 0.2 gram untuk tujuan digunakan Terdakwa, tidaklah tepat terhadapnya diterapkan Pasal 112 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009, akan tetapi ketentuan yang lebih tepat sebagaimana dalam putusan a quo.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata  putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/ Jaksa Penuntut Umum tersebut harus ditolak;

Majelis Hakim Agung:
  1. Imron Anwari (Ketua)
  2. Surya Jaya
  3. Hakim Nyak Pha

Selasa, 02 Oktober 2012

Syarat-syarat Pembelaan Terpaksa

Syarat-syarat pembelaan terpaksa dalam Pasal 49 ayat (1), menurut R. Soesilo dalam buku “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentar lengkap Pasal Demi Pasal” (hal. 65-66), yaitu:

1. Perbuatan yang dilakukan itu harus terpaksa dilakukan untuk mem- pertahankan (membela). Pertahanan itu harus amat perlu, boleh dikatakan tidak ada jalan lain. Di sini harus ada keseimbangan tertentu antara pembelaan yang dilakukan dengan serangannya. Untuk membela kepentingan yang tidak berarti misalnya, orang tidak boleh membunuh atau melukai orang lain.
2. Pembelaan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya terhadap kepen- tingan-kepentingan yang disebut dalam pasal itu yaitu badan, kehormatan dan barang diri sendiri atau orang lain.
3.  Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong  -konyong atau pada ketika itu juga.
Soesilo memberi contoh “pembelaan terpaksa” {Pasal 49 ayat (1) KUHP} yaitu seorang pencuri mengambil barang orang lain, kemudian si pencuri menyerang orang yang punya barang itu dengan pisau belati. Di sini orang itu boleh melawan untuk mempertahankan diri dan barangnya yang dicuri itu, sebab si pencuri telah menyerang dengan melawan hak. Selanjutnya, serangan itu harus sekonyong-konyong atau mengancam ketika itu juga. Tapi, jika si pencuri dan barangnya itu telah tertangkap, maka orang tidak boleh membela dengan memukuli pencuri itu, karena pada waktu itu sudah tidak ada serangan sama sekali dari pihak pencuri, baik terhadap barang maupun orangnya.
Kemudian, Soesilo juga memberikan contoh “pembelaan terpaksa yang melampaui batas” atau noodweer-exces {Pasal 49 ayat (2) KUHP} sebagai berikut:

Misalnya seorang agen polisi yang melihat istrinya diperkosa oleh orang, lalu mencabut pistolnya yang dibawa dan ditembakkan beberapa kali pada orang itu, boleh dikatakan ia melampaui batas-batas pembelaan terpaksa, karena biasanya dengan tidak perlu menembak beberapa kali, orang itu telah menghentikan perbuatannya dan melarikan diri. Apabila dapat dinyatakan pada hakim, bahwa bolehnya melampaui batas-batas itu disebabkan karena marah yang amat sangat, maka agen polisi itu tidak dapat dihukum atas perbuatannya tersebut.

Pembelaan Terpaksa

Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) berbunyi sebagai berikut:
(1) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta Benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.
(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

Penjelasan Pasal 211 KHI

Pasal 211 KHI  menyatakan bahwa hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Berikut penjelasan mengenai Pasal 211 KHI, kami kutip uraian Drs. Dede Ibin, S.H. (Wkl. Ketua PA Rangkasbitung) dalam tulisannya berjudul Hibah, Fungsi dan Korelasinya dengan Kewarisan (diunduh dari www.badilag.net):
Pengertian ‘dapat’ dalam pasal tersebut bukan berarti imperatif (harus), tetapi merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa warisan. Sepanjang para ahli waris tidak ada yang mempersoalkan hibah yang sudah diterima oleh sebagian ahli waris, maka harta warisan yang belum dihibahkan  dapat dibagikan kepada semua ahli waris sesuai dengan porsinya masing-masing. Tetapi apabila ada sebagian ahli waris yang mempersoalkan hibah yang diberikan kepada sebagian ahli waris lainnya, maka hibah tersebut dapat diperhitungkan sebagai harta warisan, dengan cara mengkalkulasikan hibah yang sudah diterima dengan porsi warisan yang seharusnya diterima, apabila hibah yang sudah diterima masih kurang dari porsi warisan maka tinggal menambah kekurangannya, dan kalau melebihi dari porsi warisan maka kelebihan hibah tersebut dapat ditarik kembali untuk diserahkan kepada ahli waris yang kekurangan dari porsinya.”