Translate

Mukaddimah

Assalaamu'alaikum wr wb.

Selamat datang di blog "Kantor Advokat/Hukum "Drs M Harun, SH & Rekan". Semoga ada kesan indah yang akan Anda dapatkan di blog ini. Aamiin!

Atas perhatian Anda, kami ucapkan banyak terima kasih.

Salam hormat kami,
Kantor Advokat/Hukum "Drs M Harun, SH dan Rekan"
Ringroad Selatan Ds Gonjen RT 05 No. 34
Tamantirto Kasihan Bantul DIY 55183 HP 0895 3093 9061 Email : harunmhmmd@gmail.com

Senin, 23 Juli 2012

Cut Tari dan Selingkuh

Cut Tari Bisa Diadili Jika Suaminya Membuat Pengaduan Bahwa Istrinya Selingkuh

  • PDF
cut-tari--yusuf-ari
Cut Tari dan suaminya Yusuf Subrata (Ari/BI)
Sejak awal mendampingi Cut Tari dalam kasus video mesum, pengacara Hotman Paris Hutapea sudah sangat yakin kliennya itu tidak akan bisa dijerat pasal hukum. Pertama, menyangkut pasal 282 KUHP tentang penyebaran produk Porno. Hotman memastikan Tari tidak sedikitpun berniat atau secara sengaja menyebar luaskan video mesumnya dengan Ariel.
Begitu juga untuk pasal 8 junto pasal 34 UU Pornografi tentang kebersediaan seseorang menjadi model dari produk pornografi.
Hotman menganggap karena UU Pornografi baru disahkan pada 2008, tidak bisa diterapkan pada Tari yang mengaku melakukan persetubuhan dengan Ariel di tahun 2006.
Hanya ada satu kemungkinan, kata Hotman, untuk Tari bisa dipidanakan. Yakni dengan pasal perselingkuhan.
"Kalau dia didakwa karena perselingkuhan, oke lah. Tapi itu juga kalau suaminya membuat pengaduan. Yang terjadi sekarang kan bukan seperti itu. Jadi, apa lagi alasan untuk mengadili Tari?," papar Hotman ditemui di kantornya, Gedung Dummit Mas, Jakarta, Jumat (23/7). Kompas.

Putusan MK ttg. Ancaman Pidana Mati

Ancaman Pidana Mati dalam KUHP Konstitusional
Rabu, 18 Juli 2012 | 22:29 WIB
Dibaca: 195  print this page Print   Video

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ancaman pidana mati dalam Pasal 365 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) konstitusional. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Mahkamah dalam putusan No. 15/PUU-X/2012 yang dimohonkan oleh Raja Syahrial alias Herman alias Wak Ancap dan Raja Fadli alias Deli. Keduanya adalah terpidana mati.
“Ancaman pidana mati terhadap kejahatan pencurian dengan kekerasan tersebut bukan merupakan satu-satunya ancaman pidana, melainkan merupakan salah satu alternatif dari dua alternatif lainnya, yaitu ancaman pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. Dengan demikian hakim dapat memilih alternatif penjatuhan pidana tersebut sesuai dengan berat atau ringannya tindak pidana yang dilakukan,” tegas Mahkamah dalam putusannya yang dibacakan pada Rabu (18/7) di Ruang Sidang Pleno MK.
Pasal tersebut selengkapnya berbunyi, “Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, pula disertai oleh salah satu hal yang diterangkan dalam nomor 1 dan 3”.
Sebelumnya, para Pemohon mendalilkan bahwa tindak pidana pencurian dengan kekerasan secara bersekutu yang mengakibatkan luka berat atau mati bukan merupakan kejahatan paling serius (the most serious crime) yang dapat dikenakan pidana mati. Namun, menurut Mahkamah, tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang sudah termasuk kejahatan serius. Karena, kejahatan tersebut menimbulkan ketakutan yang luar biasa pada masyarakat, yang sama dengan ketakutan terhadap akibat dari narkoba.
“Oleh karena perbuatan jahatnya menimbulkan efek psikologis yang sama maka adalah wajar manakala ancaman pidananya sama. Ancaman pidana terhadap kedua kejahatan tersebut diharapkan dapat menimbulkan efek jera dan pencegahan untuk melakukan kejahatan baik bagi terdakwa maupun bagi masyarakat,” papar Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya.
Selain itu, Mahkamah berkesimpulan, putusan tersebut juga telah sesuai dengan Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007, bertanggal 30 Oktober 2007, yang pada intinya menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi. “Jadi, secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945,” menurut Mahkamah saat itu.
Mahkamah juga berpandangan, hukuman mati sebagai bentuk pembatasan hak asasi manusia telah dibenarkan secara konstitusional maupun berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights). Oleh karena itu, dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan menolak seluruh permohonan Pemohon. “Permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ucap Wakil Ketua MK Achmad Sodiki. (Dodi/mh)