Translate

Mukaddimah

Assalaamu'alaikum wr wb.

Selamat datang di blog "Kantor Advokat/Hukum "Drs M Harun, SH & Rekan". Semoga ada kesan indah yang akan Anda dapatkan di blog ini. Aamiin!

Atas perhatian Anda, kami ucapkan banyak terima kasih.

Salam hormat kami,
Kantor Advokat/Hukum "Drs M Harun, SH dan Rekan"
Ringroad Selatan Ds Gonjen RT 05 No. 34
Tamantirto Kasihan Bantul DIY 55183 HP 0895 3093 9061 Email : harunmhmmd@gmail.com

Jumat, 28 September 2012

Perubahan Makna 'Saksi' dlm Hukum Acara Pidana dan Implikasinya thd Sistem Peradilan Pidana

Selasa, 16 Agustus 2011
Perubahan Makna ‘Saksi’ Dalam Hukum Acara Pidana dan Implikasinya Terhadap Sistem Peradilan Pidana
Apakah tidak ada batasan pengajuan saksi? Apa saja kriteria saksi yang keterangannya mempunyai nilai pembuktian? Apakah polisi, jaksa, hakim tetap berhak menolak saksi meringankan yang diajukan tersangka/terdakwa? Langkah-langkah apa yang harus dilakukan advokat demi membela kepentingan kliennnya? 
PDF  Print  E-mail
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4e49f3ff83f2a/lt4e55ddcd66c4d.jpg
Perubahan makna "Saksi" dalam KUHAP

Dalam upaya membuktikan terjadinya suatu tindak pidana, peran saksi-saksi sangat penting. Keterangan beberapa orang saksi bisa meyakinkan hakim bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi seperti dakwaan jaksa, atau sebaliknya menguatkan alibi terdakwa. Mengingat urgensi yang demikian, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadikan keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti.  Selama puluhan tahun, sejak UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) berlaku, saksi diartikan sebagai orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Pasal 1 angka 27 KUHAP menjelaskan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Dalam buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (2010), M. Yahya Harahap menegaskan tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan yang mempunyai nilai adalah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan padal 1 angka 27 KUHAP tersebut. Bahkan Harahap menerangkan lebih lanjut bahwa keterangan yang diberikan di luar pendengaran, penglihatan, atau pengalaman sendiri mengenai suatu peristiwa pidana “tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti”. Dengan merujuk pada adagium ‘testimonium de auditu’ Harahap menyatakan keterangan saksi yang ia peroleh sebagai hasil pendengaran orang lain tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti. Definisi ini telah dianut polisi, jaksa, hakim, dan pengacara selama puluhan tahun. Doktrin dan literatur hukum acara pidana juga nyaris tak ada yang mengkritisi makna saksi dalam KUHAP. Hingga, pada 2 Agustus lalu, Mahkamah Konstitusi membuat suatu ‘terobosan’, yakni memperluas cakupan saksi.
Seorang tersangka berhak mengajukan saksi yang meringankan/menguntungkan bagi dirinya di semua tingkat pemeriksaan. Menurut Mahkamah Konstitusi, pengertian saksi menguntungkan dalam pasal 65 KUHAP tidak dapat ditafsirkan secara sempit hanya dengan mengacu pada pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP. Pengertian saksi dalam pasal tersebut membatasi bahkan menghilangkan kesempatan bagi tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi yang menguntungkan baginya, karena frase “ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri” mensyaratkan bahwa hanya saksi yang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri suatu perbuatan dapat diajukan sebagai saksi menguntungkan bagi tersangka/terdakwa. Konsep inilah yang dikritik Mahkamah Konstitusi. Putusan MK ini mungkin akan membawa implikasi dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang pengadilan. Apakah tetap tidak ada batasan pengajuan saksi? Apa saja kriteria saksi yang keterangannya mempunyai nilai pembuktian? Apakah polisi, jaksa, hakim tetap berhak menolak saksi meringankan yang diajukan tersangka/terdakwa? Langkah-langkah apa yang harus dilakukan advokat demi membela kepentingan kliennnya?
Mengingat pentingnya masalah ini diketahui dan dipahami para pemangku kepentingan, maka Hukumonline.com bekerjasama dengan Dewan Pimpinan Cabang Asosiasi Advokat Indonesia (DPC AAI) Jakarta Pusat menggelar diskusi yang mengangkat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.  Bagi DPC AAI sendiri, kerjasama ini sejalan dengan amanat Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Penjelasan Umum Undang-Undang ini menyebutkan dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting. Advokat menjalankan tugasnya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di hadapan ukum.
Sebagai media yang banyak menulis isu-isu hukum terkini, tentu saja acara ini sangat berarti bagi hukumonline.com. Bekerjasama dengan DPC AAI Jakarta Pusat, hukumonline sangat berharap talk!hukumonline ini bukan saja menjadi ajang diseminasi putusan-putusan lembaga peradilan, tetapi juga menjadi tempat berdiskusi para pemangku kepentingan. Sehingga, para pemangku kepentingan, khususnya penegak hukum, punya persepsi yang sama dan solusi-solusi alternatif terhadap berbagai persoalan hukum di Tanah Air.  
Acara ini akan dihadiri kalangan praktisi advokat, polisi, hakim, jaksa, aktivis LBH dan lembaga swadaya masyarakat, biro hukum lembaga pemerintah, dan pers.
Oleh karena itu, guna mendapatkan pemahaman yang benar dan menyeluruh mengenai hal ini maka www.hukumonline.com telah mengadakan Talk!hukumonline Discussion dengan tema: “PERUBAHAN MAKNA ‘SAKSI’ DALAM HUKUM ACARA PIDANA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP SISTEM PERADILAN PIDANA” yang diselenggarakan pada:

WAKTU & TEMPAT PELAKSANAAN
Hari        : Rabu, 24 Agustus2011
Waktu   : 13.30 – 16.00WIB
Tempat                : Indonesia Jentera School of Law, Puri Imperium Office Plaza, Lantai 2, Jl. Kuningan Madya Kav 5-6, Jakarta Selatan

Narasumber:
Brigjen Pol RM Panggabean*
(Mabes Polri)

Dr. H.M. Akil Mochtar, S.H., M.H.
(Hakim Mahkamah Konstitusi)

Flora Dianti, S.H., M.H.
(Advokat, Ketua Divisi Penelitian dan Pengembangan DPC Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Jakarta Pusat)

Acara ini didukung oleh
DPC AAI Jakarta Pusat
(Dewan Pimpinan Cabang Asosiasi Advokat Indonesia Jakarta Pusat)
Jika anda tertarik dengan notulensi seminar ini, silahkan  hubungi kami via email ke talks@hukumonline.com. Notulensi seminar ini tersedia gratis bagi pelanggan hukumonline.com*.
*syarat dan ketentuan berlaku.

Pasal 185 Ayat (4) KUHAP

Pasal 185 ayat (4) KUHAP berbunyi, "keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu."

Misalnya:
1.  Mr. A, Mr. B, Mr. C, dan Mr. D mengakui bahwa mereka pernah bertemu pada suatu waktu dan tempat tertentu membicarakan masalah X.

2. Mr. E mengaku bertemu dengan Mr. A pada suatu waktu dan tempat tertentu membicarakan masalah Y, tapi Mr. A tidak mengakuinya. 

3. Mr. B dan Mr. E mengaku pernah bertemu pada suatu waktu dan tempat tertentu, Mr. B  mendapatkan sesuatu dari Mr. E sebagai hadiah dari Mr. A sehubungan dengan masalah Y.

Rabu, 26 September 2012

HIBAH

Kompilasi Hukum Islam Buku II (Hukum Kewarisan) Bab VI (Hibah)

Pasal 210:

(1) Orang yang berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga dihadapan dua orang saksi untuk dimiliki.

(2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.

Pasal 211:
Hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan

Pasal 212:
Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya.

Pasal 213:
Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya.

Pasal 214:
Warga negara Indonesia yang berada di negara asing dapat membuat surat hibah dihadapan Konsulat atau Kedutaan Republik Indonesia setempat sepanjang isinya tidak bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal ini.