Perubahan makna "Saksi" dalam KUHAP
Dalam upaya membuktikan terjadinya suatu tindak pidana, peran
saksi-saksi sangat penting. Keterangan beberapa orang saksi bisa
meyakinkan hakim bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi seperti
dakwaan jaksa, atau sebaliknya menguatkan alibi terdakwa. Mengingat
urgensi yang demikian, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
menjadikan keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti. Selama
puluhan tahun, sejak UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP)
berlaku, saksi diartikan sebagai orang yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami
sendiri. Pasal 1 angka 27 KUHAP menjelaskan keterangan saksi adalah
salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari
saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya
itu.
Dalam buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (2010), M.
Yahya Harahap menegaskan tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai
sebagai alat bukti. Keterangan yang mempunyai nilai adalah keterangan
yang sesuai dengan apa yang dijelaskan padal 1 angka 27 KUHAP tersebut.
Bahkan Harahap menerangkan lebih lanjut bahwa keterangan yang diberikan
di luar pendengaran, penglihatan, atau pengalaman sendiri mengenai suatu
peristiwa pidana “tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat
bukti”. Dengan merujuk pada adagium ‘testimonium de auditu’
Harahap menyatakan keterangan saksi yang ia peroleh sebagai hasil
pendengaran orang lain tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti.
Definisi ini telah dianut polisi, jaksa, hakim, dan pengacara selama
puluhan tahun. Doktrin dan literatur hukum acara pidana juga nyaris tak
ada yang mengkritisi makna saksi dalam KUHAP. Hingga, pada 2 Agustus
lalu, Mahkamah Konstitusi membuat suatu ‘terobosan’, yakni memperluas
cakupan saksi.
Seorang tersangka berhak mengajukan saksi yang
meringankan/menguntungkan bagi dirinya di semua tingkat pemeriksaan.
Menurut Mahkamah Konstitusi, pengertian saksi menguntungkan dalam pasal
65 KUHAP tidak dapat ditafsirkan secara sempit hanya dengan mengacu pada
pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP. Pengertian saksi dalam pasal
tersebut membatasi bahkan menghilangkan kesempatan bagi tersangka atau
terdakwa untuk mengajukan saksi yang menguntungkan baginya, karena frase
“ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri” mensyaratkan
bahwa hanya saksi yang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan
mengalami sendiri suatu perbuatan dapat diajukan sebagai saksi
menguntungkan bagi tersangka/terdakwa. Konsep inilah yang dikritik
Mahkamah Konstitusi. Putusan MK ini mungkin akan membawa implikasi dalam
proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang pengadilan.
Apakah tetap tidak ada batasan pengajuan saksi? Apa saja kriteria saksi
yang keterangannya mempunyai nilai pembuktian? Apakah polisi, jaksa,
hakim tetap berhak menolak saksi meringankan yang diajukan
tersangka/terdakwa? Langkah-langkah apa yang harus dilakukan advokat
demi membela kepentingan kliennnya?
Mengingat pentingnya masalah ini diketahui dan dipahami para pemangku
kepentingan, maka Hukumonline.com bekerjasama dengan Dewan Pimpinan
Cabang Asosiasi Advokat Indonesia (DPC AAI) Jakarta Pusat menggelar
diskusi yang mengangkat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Bagi DPC
AAI sendiri, kerjasama ini sejalan dengan amanat Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Penjelasan Umum Undang-Undang ini menyebutkan dalam usaha mewujudkan
prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, peran dan fungsi advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri,
dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting. Advokat menjalankan
tugasnya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan
masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat
dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di hadapan ukum.
Sebagai media yang banyak menulis isu-isu hukum terkini, tentu saja acara ini sangat berarti bagi hukumonline.com. Bekerjasama dengan DPC AAI Jakarta Pusat, hukumonline sangat berharap talk!hukumonline
ini bukan saja menjadi ajang diseminasi putusan-putusan lembaga
peradilan, tetapi juga menjadi tempat berdiskusi para pemangku
kepentingan. Sehingga, para pemangku kepentingan, khususnya penegak
hukum, punya persepsi yang sama dan solusi-solusi alternatif terhadap
berbagai persoalan hukum di Tanah Air.
Acara ini akan dihadiri kalangan praktisi advokat, polisi, hakim,
jaksa, aktivis LBH dan lembaga swadaya masyarakat, biro hukum lembaga
pemerintah, dan pers.
Oleh karena itu, guna mendapatkan pemahaman yang benar dan menyeluruh mengenai hal ini maka www.hukumonline.com telah mengadakan Talk!hukumonline Discussion dengan tema: “PERUBAHAN MAKNA ‘SAKSI’ DALAM HUKUM ACARA PIDANA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP SISTEM PERADILAN PIDANA” yang diselenggarakan pada:
WAKTU & TEMPAT PELAKSANAAN
Hari : Rabu, 24 Agustus2011
Waktu : 13.30 – 16.00WIB
Tempat : Indonesia Jentera School of Law, Puri Imperium Office Plaza, Lantai 2, Jl. Kuningan Madya Kav 5-6, Jakarta Selatan
Narasumber:
Brigjen Pol RM Panggabean*
(Mabes Polri)
Dr. H.M. Akil Mochtar, S.H., M.H.
(Hakim Mahkamah Konstitusi)
Flora Dianti, S.H., M.H.
(Advokat, Ketua Divisi Penelitian dan Pengembangan DPC Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Jakarta Pusat)
Acara ini didukung oleh
DPC AAI Jakarta Pusat
(Dewan Pimpinan Cabang Asosiasi Advokat Indonesia Jakarta Pusat)
*syarat dan ketentuan berlaku.