Translate

Mukaddimah

Assalaamu'alaikum wr wb.

Selamat datang di blog "Kantor Advokat/Hukum "Drs M Harun, SH & Rekan". Semoga ada kesan indah yang akan Anda dapatkan di blog ini. Aamiin!

Atas perhatian Anda, kami ucapkan banyak terima kasih.

Salam hormat kami,
Kantor Advokat/Hukum "Drs M Harun, SH dan Rekan"
Ringroad Selatan Ds Gonjen RT 05 No. 34
Tamantirto Kasihan Bantul DIY 55183 HP 0895 3093 9061 Email : harunmhmmd@gmail.com

Jumat, 20 September 2013

Hak Karyawan

Hak-hak seorang karyawan (dalam hal ini, pekerja/buruh) yang meninggal dunia -yang bukan karena kecelakaan kerja, termasuk bukan karena penyakit akibat kerja (“PAK”) - sesuai ketentuan dan timbul dari peraturan perundang-undangan, adalah: 

a. sejumlah uang* (semacam “uang duka”) yang nilai dan perhitungannya sama dengan -jumlah- perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. *Keterangan: Sejumlah “uang duka” tersebut, adalah merupakan kewajiban dari pengusaha yang mana pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja atau merupakan hak ahli waris-(keluarga)-nya (vide Pasal 166 UU Ketenagakerjaan).

b. jaminan kematian (“JK”)* yang meliputi : 1) Santunan kematian, lumpsum sebesar Rp14.200.000,- (empat belas juta dua ratus ribu rupiah); 2) Biaya pemakaman, lumpsum sebesar Rp2.000.000,- (dua juta rupiah); dan 3) Santunan berkala dibayarkan sebesar Rp200.000,- (dua ratus ribu rupiah) per-bulan selama 24 (dua puluh empat) bulan, atau -jika- dibayarkan di muka sekaligus sebesar Rp4.800.000,- (empat juta delapan ratus ribu rupiah) atas pilihan -dari (para) ahli warisnya- (vide Pasal 12 dan Pasal 13 UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja atau UU Jamsostek jo Pasal 22 PP No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP No. 53 Tahun 2012 atau disebut PP Penyelenggaraan Jamsostek). *Keterangan: Hak JK ini, merupakan kewajiban PT Jamsostek jika tenaga kerja diikut-sertakan dalam program jamsostek. Akan tetapi, manakala pengusaha tidak mengikutkan tenaga kerjanya pada program jamsostek, maka merupakan tanggung-jawab (dan kewajiban) perusahaan memenuhinya (vide Pasal 17 dan 18 ayat (3) UU Jamsostek) 

c. jaminan hari tua (“JHT”)* yang jumlahnya merupakan akumulasi iuran selama masa kepesertaan dan pengembangannya. *Keterangan: JHT ini -pada prinsipnya- juga dibayarkan -oleh PT. Jamsostek- kepada ahli waris. Dalam hal tenaga kerja tidak diikutsertakan dalam program jamsostek (termasuk jika diikutsertakan, akan tetapi terputus-putus), maka JHT (atau selisihnya) merupakan kewajiban dan tanggung-jawab pengusaha untuk membayar yang besaran nilainya sesuai jumlah kewajiban yang seharusnya diperoleh dari PT. Jamsostek (vide Pasal 6 ayat [1] huruf c dan Pasal 14 ayat [2] jo Pasal 17 dan 18 ayat (3) UU Jamsostek jo Pasal 24 ayat [1] PP Penyelenggaraan Jamsostek jo PP No. 1 Tahun 2009); 

Selain itu, ada kemungkinan juga timbul hak dari perjanjian atau persetujuan -para pihak, yang merupakan kesepakatan dan/atau dituangkan dalam perjanjian kerja dan/atau dalam peraturan perusahaan/perjanjian kerja bersama sehingga mengikat para pihak mematuhinya (pacta sun servanda) dan menjadi hak –ahliwaris- mendiang (vide Pasal 1338 dan Pasal 1320 jo Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau KUH Perdata). 

Sumber : Umar Kasim, "Hak-hak Karyawan yang Meninggal ...", dalam Klinik Hukum, Hukum Online 20 September 2013.

Bolehkah Perusahaan Mem-PHK Pekerja Wanita Karena Kurang Cantik?

Hukum Online, Kamis, 19 September 2013
 
Pertanyaan:
 
Bolehkah Perusahaan Mem-PHK Pekerja Wanita Karena Kurang Cantik?
Assalamu ‘alaikum. Pernah saya menemui seorang wanita yang diberhentikan oleh bos perusahaan karena wajahnya kurang ideal. Padahal wanita itu telah beberapa bulan bekerja di perusahaan tersebut, namun suatu ketika bos perusahaan tersebut melihat wanita itu bekerja dan kemudian karena melihat wajah wanita itu kurang cantik, dengan tegasnya bos tersebut memberhentikan wanita itu. Apakah boleh perbuatan bos tersebut menurut UUK dan bagaimana tindakan hukum yang akan diajukan oleh wanita tersebut?
Idris Hararongga

Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt506aec66ed27e/lt506bc9aa28ce7.jpg
Salam sejahtera,
 
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) menganut prinsip nondiskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Hal ini terlihat dari Pasal 5 dan Pasal 6 UU Ketenagakerjaan:
 
Pasal 5 UU Ketenagakerjaan:
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.
 
Pasal 6 UU Ketenagakerjaan:
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.
 
Dalam Penjelasan Pasal 5 UU Ketenagakerjaan dikatakan bahwa setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat.
 
Sedangkan, dalam Penjelasan Pasal 6 UU Ketenagakerjaan dikatakan bahwa pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik.
 
Jika perusahaan melakukan tindakan diskriminatif kepada pekerjanya, perusahaan dapat dikenakan sanksi administratif (Pasal 190 ayat [1] UU Ketenagakerjaan). Sanksi adminisitratif tersebut berupa (Pasal 190 ayat [2] UU Ketenagakerjaan):
a.    teguran;
b.    peringatan tertulis;
c.    pembatasan kegiatan usaha;
d.    pembekuan kegiatan usaha;
e.    pembatalan persetujuan;
f.     pembatalan pendaftaran;
g.    penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi;
h.    pencabutan ijin.
 
Mengenai pemberhentian wanita tersebut karena dirinya kurang cantik, pada dasarnya dalam Pasal 153 ayat (1) huruf i UU Ketenagakerjaan dikatakan bahwa pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:
 
karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
 
Pemutusan hubungan kerja karena alasan-alasan di atas batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan (Pasal 153 ayat [2] UU Ketenagakerjaan).
 
Jadi, perbuatan bos/pengusaha tersebut tidak dapat dibenarkan melihat pada ketentuan-ketentuan UU Ketenagakerjaan di atas.
 
Jika pekerja wanita yang bersangkutan tidak dapat menerima keputusan perusahaan terkait pemutusan hubungan kerja tersebut (baik karena memang alasannya adalah kurang cantik atau itu hanya asumsi dari si wanita), ini berarti terdapat perselisihan pemutusan hubungan kerja.
 
Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. Demikian definisi yang diatur Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU No. 2/2004”).
 
Dalam hal terjadi perselisihan pemutusan hubungan kerja, wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat (Pasal 3 ayat [1] UU No. 2/2004). Jika perundingan bipartit tidak berhasil, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan (Pasal 4 ayat [1] UU No. 2/2004).
 
Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase (Pasal 4 ayat [3] UU No. 2/2004). Karena dalam hal ini yang terjadi adalah perselisihan pemutusan hubungan kerja, maka yang ditawarkan adalah penyelesaian melalui konsiliasi (Pasal 4 ayat [5] UU No. 2/2004). Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial (Pasal 5 UU No. 2/2004).
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
 

Selasa, 17 September 2013

PB-25


Perbuatan-perbuatan yang Termasuk Pencemaran Nama Baik

Pertanyaan:
 
Saya ingin tahu hal-hal apa saja yang dapat dikategorikan dalam pencemaran nama baik? Kalau saya tidak termasuk dalam kategori itu, hal apa yang bisa saya tuntut balik? Terima kasih.
melissa.christianti
 
Jawaban:
 
http://images.hukumonline.com/frontend/lt5165540a9b53c/lt51655436e57b1.jpg
Terima kasih atas pertanyaan Anda,
 
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu kami akan jelaskan arti kata “pencemaran nama baik” yang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dikenal sebagai “penghinaan”.
 
R Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal 225) dalam penjelasan Pasal 310 KUHP, menerangkan bahwa, “menghina” adalah “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Yang diserang ini biasanya merasa “malu” “Kehormatan” yang diserang di sini hanya mengenai kehormatan tentang “nama baik”, bukan “kehormatan” dalam lapangan seksuil, kehormatan yang dapat dicemarkan karena tersinggung anggota kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.
 
Pada prinsipnya, mengenai pencemaran nama baik diatur dalam KUHP, Bab XVI tentang Penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 s.d 342 KUHP.Melihat pada penjelasan R. Soesilo dalam Pasal 310 KUHP, dapat kita lihat bahwa KUHP membagi enam macam penghinaan, yakni:
 
1.    Penistaan (Pasal 310 ayat (1) KUHP)
Menurut R. Soesilo, supaya dapat dihukum menurut pasal ini, maka penghinaan itu harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu” dengan maksud agar tuduhan itu tersiar (diketahui oleh orang banyak). Perbuatan yang dituduhkan itu tidak perlu suatu perbuatan yang boleh dihukum seperti mencuri, menggelapkan, berzina dan sebagainya, cukup dengan perbuatan biasa, sudah tentu suatu perbuatan yang memalukan.
 
2.    Penistaan dengan surat (Pasal 310 ayat (2) KUHP)
Menurut R. Soesilo sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 310 KUHP, apabila tuduhan tersebut dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar, maka kejahatan itu dinamakan “menista dengan surat”. Jadi seseorang dapat dituntut menurut pasal ini jika tuduhan atau kata-kata hinaan dilakukan dengan surat atau gambar.
 
3.    Fitnah (Pasal 311 KUHP)
Merujuk pada penjelasan R. Soesilo dalam Pasal 310 KUHP, sebagaimana kami sarikan, perbuatan dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP tidak masuk menista atau menista dengan tulisan (tidak dapat dihukum), apabila tuduhan itu dilakukan untuk membela kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri. Dalam hal ini hakim barulah akan mengadakan pemeriksaan apakah betul-betul penghinaan itu telah dilakukan oleh terdakwa karena terdorong membela kepentingan umum atau membela diri, jikalau terdakwa meminta untuk diperiksa (Pasal 312 KUHP).
 
Apabila soal pembelaan itu tidak dapat dianggap oleh hakim, sedangkan dalam pemeriksaan itu ternyata, bahwa apa yang dituduhkan oleh terdakwa itu tidak benar, maka terdakwa tidak disalahkan menista lagi, akan tetapi dikenakan Pasal 311 KUHP (memfitnah).
 
Jadi, yang dimaksud dengan memfitnah dalam pasal ini adalah kejahatan menista atau menista dengan tulisan dalam hal ketika ia diizinkan untuk membuktikan bahwa tuduhannya itu untuk membela kepentingan umum atau membela diri, ia tidak dapat membuktikannya dan tuduhannya itu tidak benar.
 
4.    Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP)
Penghinaan seperti ini dilakukan di tempat umum yang berupa kata-kata makian yang sifatnya menghina. R Soesilo, dalam penjelasan Pasal 315 KUHP, sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa jika penghinaan itu dilakukan dengan jalan lain selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “asu”, “sundel”, “bajingan” dan sebagainya, masuk Pasal 315 KUHP dan dinamakan “penghinaan ringan”.
 
Penghinaan ringan ini juga dapat dilakukan dengan perbuatan. Menurut R. Soesilo, penghinaan yang dilakukan dengan perbuatan seperti meludahi di mukanya, memegang kepala orang Indonesia, mendorong melepas peci atau ikat kepala orang Indonesia. Demikian pula suatu sodokan, dorongan, tempelengan, dorongan yang sebenarnya merupakan penganiayaan, tetapi bila dilakukan tidak seberapa keras, dapat menimbulkan pula penghinaan.
 
5.    Pengaduan palsu atau pengaduan fitnah (Pasal 317 KUHP)
R. Sugandhi, S.H. dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya (hal. 337) memberikan uraian pasal tersebut, yakni diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dengan sengaja:
a.    memasukkan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada pembesar negeri;
b.   menyuruh menuliskan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada 
     pembesar negeri
 
sehingga kehormatan atau nama baik orang itu terserang.
 
6.    Perbuatan fitnah (Pasal 318 KUHP)
Menurut R. Sugandhi, S.H., terkait Pasal 318 KUHP, sebagaimana kami sarikan, yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan orang lain secara tidak benar terlibat dalam suatu tindak pidana, misalnya: dengan diam-diam menaruhkan sesuatu barang asal dari kejahatan di dalam rumah orang lain, dengan maksud agar orang itu dituduh melakukan kejahatan.
 
Terkait pertanyaan Anda selanjutnya, kami berasumsi bahwa perbuatan Anda tidak termasuk ke dalam kategori penghinaan di atas, tetapi ada pihak yang menuntut Anda melakukan penghinaan/pencemaran nama baik. Dalam hal demikian, orang tersebut dapat Anda tuntut jika orang tersebut mengetahui benar-benar bahwa apa yang dia adukan tersebut tidak benar.
 
Jika yang ia lakukan adalah untuk membuat nama Anda tercemar, maka orang tersebut dapat dipidana berdasarkan Pasal 317 KUHP:
 
(1) Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 3 dapat dijatuhkan.
 
Akan tetapi jika maksud dari pengaduan orang tersebut bukan untuk membuat nama Anda tercemar (tetapi orang tersebut tahu bahwa yang ia adukan adalah tidak benar), maka orang tersebut dapat dipidana berdasarkan Pasal 220 KUHP:
 
“Barang siapa memberitahukan atau mengadukan bahwa telah dilakukan suatu perbuatan pidana, padahal mengetahui bahwa itu tidak dilakukan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.”
 
Selain itu, Anda juga dapat simak penjelasan kami dalam artikel-artikel berikut:
 
Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
 
Referensi:
1.    R. Soesilo. 1991.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.
2.    R. Sugandhi, SH. 1980.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya. Usaha Nasional: Surabaya.
 

Senin, 16 September 2013

Perlindungan Hukum bagi Pemegang Saham Minoritas

Kamis, 20 Juni 2013
 
Dalam perusahaan, bagaimana perlindungan hukum terhadap pemilik saham minoritas? Jika pemilik saham mayoritas ingin mendilusi pemilik saham minoritas dengan menambah kapital (dari dana sendiri ataupun dari pihak luar), bagaimana perlindungan terhadap pemilik saham minoritas yang tidak bisa mengikuti penambahan modal? Terima kasih atas bantuannya.

http://images.hukumonline.com/frontend/lt4fad21e82f7d2/lt51c28a5791f96.jpg
 
 
Terkait dengan permasalahan hukum berkenaan dengan perlindungan terhadap pemegang saham (“PS”) minoritas dapatlah kita merujuk kepada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) khususnya:
 
-    Kewenangan PS dalam mengajukan gugatan terhadap perseroan apabila dirugikan sebagai akibat dari keputusan RUPS, Direksi dan/atau Dewan Komisaris (Vide Pasal 61 [1] UUPT)
-    Kewenangan PS dalam meminta kepada Persero agar sahamnya dapat dibeli kembali akibat tidak setujunya PS terhadap tindakan perseroan tentang perubahan AD, pengalihan atau penjaminan kekayaan perseroan yang nilainya lebih dari 50 % dan penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan (Vide Pasal 62 UUPT).
-    Kewenangan PS untuk diselengarakannya RUPS, tanpa kewenangan memutuskan diadakannya RUPS (Vide Pasal 79 ayat [2] UUPT)
-    Kewenangan untuk mewakili perseroan untuk mengajukan gugatan terhadap anggota direksi yang menyebabkan kerugian perseroan (Vide Pasal 114 ayat [6] UUPT)
-    Kewenangan PS untuk dilakukannya audit terhadap perseroan, atas dugaan terjadinya Perbuatan Melawan Hukum yang merugikan yang dilakukan oleh Perseroan, Direksi atau komisaris. (Vide Pasal 138 ayat [3] UUPT)
-    Kewenangan PS untuk mengajukan permohonan pembubaran perseroan (Vide Pasal 144 ayat [1] UUPT
 
Selain dari ketentuan hukum yang diatur dalam UUPT di atas, Persero dalam menjalankan roda perusahaan dituntut untuk menerapkan prinsip Good Corporate Governance (“GCG”), sebagaimana diketahui dalam prinsip GCG mengedepankan: fairness (keseimbangan), transparency (transparan), accountability (akuntabilitas) and responsibility (bertanggung-jawab).
 
Permasalahan adanya corporate action terkait penambahan/peningkatan modal suatu perseroan acap kali digunakan para pemilik saham mayoritas untuk mendilusi kepemilikan saham minoritas. Namun, sepanjang corporate action ini sesuai ketentuan hukum yang berlaku pada UUPT, maka tidak adanya pelanggaran hukum yang dapat dialamatkan kepada perseroan.
 
Langkah yang dapat dilakukan oleh para PS minoritas atas tindakan yang dilakukan perseroan adalah meminta agar perseroan membeli saham-saham PS minoritas tersebut dengan harga wajar (Vide Pasal 62 UUPT) atau dalam hal PS minoritas dapat membuktikan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan persero terkait dengan tindakan tersebut atau dapat membuktikan adanya kerugian atas tindakan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar tersebut, PS minoritas dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri tempat kedudukan perseroan (Vide Pasal 61 UUPT).
 
Demikian kiranya yang dapat disampaikan, semoga dapat bermanfaat.
 
Terima kasih.
 
Dasar hukum:
 
@klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
http://images.hukumonline.com/frontend/lt51c288a35cea1/lt51c2afea2feac.jpg

1820 hits
Di: Hukum Perusahaan
sumber dari: ADCO Attorneys at Law

Minggu, 15 September 2013

Dasar Hukum Penyelenggaraan Perusahaan

  • 1.    Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
  • 2.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
  • 3.    Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan.
  • 4.    Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
  • 5.    Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengajuan dan Pemakaian     Nama Perseroan.
  • 6.    Peraturan Menteri Perdagangan No. 31/M/Dag/Per/9/2007 tentang Penyelenggaraan           Perusahaan. 
  • 7. Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-01.01 Tahun 2011 tentang Tata              Cara  Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan            Anggaran Dasar Serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan dasar dan Perubahan Data       Perseroan Terbatas.

PB-24


Jumat, 13 September 2013

Syarat-syarat Pengangkatan Anggota Direksi

Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”) telah mengatur syarat-syarat pengangkatan anggota Direksi, yaitu:
“Yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah orang perseorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu lima tahun sebelum pengangkatannya pernah:
a.    Dinyatakan pailit;
b.    Menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit; atau
c.    Dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan Negara dan/atau berkaitan dengan sektor keuangan.”

Benda dalam KUH Perdata

Berdasarkan Pasal 504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), benda dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak. Mengenai benda tidak bergerak, diatur dalam Pasal 506 – Pasal 508 KUHPer. Sedangkan untuk benda bergerak, diatur dalam Pasal 509 – Pasal 518 KUHPer.

Kamis, 12 September 2013

Tempat Mengajukan Gugatan Cerai

Dalam hukum Indonesia dibedakan tempat mengajukan gugatan cerai. Bagi yang beragama Islam, gugatan cerai (oleh istri) dan permohonan talak (oleh suami) diajukan ke pengadilan agama. Sedangkan, bagi yang beragama selain Islam, gugatan cerai diajukan ke pengadilan negeri. 

Pengaturan Masalah Perceraian

Pengaturan masalah perceraian di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 (“PP 9/1975”) sebagai peraturan pelaksananya.
Berdasarkan Pasal 38 UU Perkawinan, perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri (lihat Pasal 39 ayat [2] UU Perkawinan).