Jawaban:
Sebelumnya,
kami asumsikan dulu bahwa jaminan yang Anda maksudkan adalah jaminan
berupa benda atau yang biasa disebut dengan jaminan kebendaan. Kami
kurang jelas dengan apa yang Anda maksud dengan “selesai masa
kreditnya”. Kami asumsikan bahwa yang dimaksud “selesai masa kreditnya”
adalah jatuh temponya kredit tersebut atau jangka waktu pembayaran
kredit yang diperjanjikan.
Pada
dasarnya, kreditur pemegang jaminan kebendaan memiliki hak untuk
mengeksekusi barang jaminan untuk dijual secara lelang guna pembayaran
utang debitur jika debitur lalai melaksanakan kewajibannya berdasarkan
perjanjian kredit atau biasa disebut dengan wanprestasi. Pemberian hak
kepada kreditur untuk mengeksekusi jaminan kebendaan yang diberikan oleh
debitur dapat kita lihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) serta beberapa peraturan perundang-undangan berikut ini:
1. Pasal 1155 KUHPer: Kreditur sebagai penerima
benda gadai berhak untuk menjual barang gadai, setelah lewatnya jangka
waktu yang ditentukan, atau setelah dilakukannya peringatan untuk
pemenuhan perjanjian dalam hal tidak ada ketentuan jangka waktu yang
pasti.
2. Pasal 15 ayat (3) jo. Pasal 29 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU Jaminan Fidusia”): yang memberikan hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera janji (wanprestasi).
3. Pasal 6 jo. Pasal 20 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah: yang memberikan hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera janji (wanprestasi).
Mengenai apa yang dimaksud dengan wanprestasi sendiri, kita dapat mellihat pada Penjelasan Pasal 21 UU Jaminan Fidusia,
yaitu yang dimaksud dengan "cidera janji" (wanprestasi) adalah tidak
memenuhi prestasi, baik yang berdasarkan perjanjian pokok, perjanjian
Jaminan Fidusia, maupun perjanjian jaminan lainnya.
Mengenai apa itu prestasi, berdasarkan Pasal 1234 KUHPer, ada 3 macam bentuk prestasi, yaitu:
1. Untuk memberikan sesuatu;
2. Untuk berbuat sesuatu; dan
3. Untuk tidak berbuat sesuatu.
Melihat pada bentuk-bentuk prestasi pada Pasal 1234 KUHPer serta pendapat J. Satrio dalam bukunya yang berjudul Hukum Perikatan (hal. 122), dapat kita lihat bahwa wujud wanprestasi bisa berupa:
1. Debitur sama sekali tidak berprestasi;
2. Debitur keliru berprestasi;
3. Debitur terlambat berprestasi.
Apabila
kredit macet tersebut terjadi karena debitur tidak melaksanakan
prestasinya sebagaimana terdapat dalam perjanjian kredit, maka sebelum
melakukan eksekusi barang jaminan, debitur harus terlebih dahulu
dinyatakan wanprestasi, yang dilakukan melalui putusan pengadilan. Untuk
itu kreditur harus menggugat debitur atas dasar wanprestasi. Akan
tetapi sebelum menggugat debitur, kreditur harus melakukan somasi
terlebih dahulu yang isinya agar debitur memenuhi prestasinya. Apabila
debitur tidak juga memenuhi prestasinya, maka kreditur dapat menggugat
debitur atas dasar wanpretasi, dengan mana apabila pengadilan memutuskan
bahwa debitur telah wanprestasi, maka kreditur dapat melakukan eksekusi
atas barang jaminan yang diberikan oleh debitur.
Jadi,
dapat atau tidaknya barang jaminan dieksekusi tidak hanya bergantung
pada apakah jangka waktu pembayaran kredit telah lewat atau tidak. Akan
tetapi, apabila debitur melakukan prestasi yang tidak sesuai dengan yang
diperjanjikan, itu juga merupakan bentuk wanprestasi (keliru
berprestasi atau melakukan tidak sebagaimana yang diperjanjikan) dan
dapat membuat kreditur berhak untuk melaksanakan haknya mengeksekusi
barang jaminan.
Namun,
biasanya sebelum membawa perkara kredit yang bermasalah ke jalur hukum,
dilakukan upaya-upaya secara administrasi terlebih dahulu. Drs. Muhamad Djumhana, S.H., dalam bukunya yang berjudul Hukum Perbankan di Indonesia (hal. 553-573), sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa mengenai kredit bermasalah dapat dilakukan penyelesaian secara administrasi perkreditan, dan terhadap kredit yang sudah pada tahap kualitas macet maka penanganannya lebih ditekankan melalui beberapa upaya yang lebih bersifat pemakaian kelembagaan hukum (penyelesaian melalui jalur hukum).
Menurut Djumhana, penyelesaian secara administrasi perkreditan antara lain sebagai berikut:
1. Penjadwalan kembali (rescheduling),
yaitu perubahan syarat kredit yang menyangkut jadwal pembayaran dan
atau jangka waktu termasuk masa tenggang, baik meliputi perubahan
besarnya angsuran maupun tidak;
2. Persyaratan kembali (reconditioning),
yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak
terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu, dan atau
persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo
kredit dan konversi seluruh atau sebagian dari pinjaman menjadi
penyertaan bank;
3. Penataan kembali (restructuring),
yaitu perubahan syarat-syarat kredit berupa penambahan dana bank;
dan/atau konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok
kredit baru, dan/atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi
penyertaan dalam perusahaan.
Sedangkan, penyelesaian melalui jalur hukum antara lain:
1. Melalui Panitia Urusan Piutang Negara;
2. Melalui badan peradilan;
3. Melalui arbitrase atau Badan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Oleh
karena itu, memang barang jaminan dapat dilelang sebelum lewat jangka
waktu pembayaran kredit dalam hal debitur melakukan tindakan wanprestasi
lainnya. Meski demikian, ada baiknya ditempuh upaya-upaya secara
administrasi terlebih dahulu untuk menyelesaikan kredit yang bermasalah
sebelum melakukan gugatan ke pengadilan dan mengeksekusi barang jaminan.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum: