Translate

Mukaddimah

Assalaamu'alaikum wr wb.

Selamat datang di blog "Kantor Advokat/Hukum "Drs M Harun, SH & Rekan". Semoga ada kesan indah yang akan Anda dapatkan di blog ini. Aamiin!

Atas perhatian Anda, kami ucapkan banyak terima kasih.

Salam hormat kami,
Kantor Advokat/Hukum "Drs M Harun, SH dan Rekan"
Ringroad Selatan Ds Gonjen RT 05 No. 34
Tamantirto Kasihan Bantul DIY 55183 HP 0895 3093 9061 Email : harunmhmmd@gmail.com

Selasa, 22 Oktober 2013

Penyelesaian Kredit Macet

Jumat, 11 Oktober 2013
Pertanyaan: 
Langkah-Langkah Penyelesaian Kredit Macet
Apabila terjadi kemacetan kredit, apakah jaminan bisa dilelang sebelum selesai masa kreditnya?

Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt506aec66ed27e/lt506bc9aa28ce7.jpg
Sebelumnya, kami asumsikan dulu bahwa jaminan yang Anda maksudkan adalah jaminan berupa benda atau yang biasa disebut dengan jaminan kebendaan. Kami kurang jelas dengan apa yang Anda maksud dengan “selesai masa kreditnya”. Kami asumsikan bahwa yang dimaksud “selesai masa kreditnya” adalah jatuh temponya kredit tersebut atau jangka waktu pembayaran kredit yang diperjanjikan.
 
Pada dasarnya, kreditur pemegang jaminan kebendaan memiliki hak untuk mengeksekusi barang jaminan untuk dijual secara lelang guna pembayaran utang debitur jika debitur lalai melaksanakan kewajibannya berdasarkan perjanjian kredit atau biasa disebut dengan wanprestasi. Pemberian hak kepada kreditur untuk mengeksekusi jaminan kebendaan yang diberikan oleh debitur dapat kita lihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata  (“KUHPer”) serta beberapa peraturan perundang-undangan berikut ini:
1.    Pasal 1155 KUHPer: Kreditur sebagai penerima benda gadai berhak untuk menjual barang gadai, setelah lewatnya jangka waktu yang ditentukan, atau setelah dilakukannya peringatan untuk pemenuhan perjanjian dalam hal tidak ada ketentuan jangka waktu yang pasti.
2.    Pasal 15 ayat (3) jo. Pasal 29 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU Jaminan Fidusia”): yang memberikan hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera janji (wanprestasi).
3.    Pasal 6 jo. Pasal 20 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah: yang memberikan hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera janji (wanprestasi).
 
Mengenai apa yang dimaksud dengan wanprestasi sendiri, kita dapat mellihat pada Penjelasan Pasal 21 UU Jaminan Fidusia, yaitu yang dimaksud dengan "cidera janji" (wanprestasi) adalah tidak memenuhi prestasi, baik yang berdasarkan perjanjian pokok, perjanjian Jaminan Fidusia, maupun perjanjian jaminan lainnya.
 
Mengenai apa itu prestasi, berdasarkan Pasal 1234 KUHPer, ada 3 macam bentuk prestasi, yaitu:
1.    Untuk memberikan sesuatu;
2.    Untuk berbuat sesuatu; dan
3.    Untuk tidak berbuat sesuatu.
 
Melihat pada bentuk-bentuk prestasi pada Pasal 1234 KUHPer serta pendapat J. Satrio dalam bukunya yang berjudul Hukum Perikatan (hal. 122), dapat kita lihat bahwa wujud wanprestasi bisa berupa:
1.    Debitur sama sekali tidak berprestasi;
2.    Debitur keliru berprestasi;
3.    Debitur terlambat berprestasi.
 
Apabila kredit macet tersebut terjadi karena debitur tidak melaksanakan prestasinya sebagaimana terdapat dalam perjanjian kredit, maka sebelum melakukan eksekusi barang jaminan, debitur harus terlebih dahulu dinyatakan wanprestasi, yang dilakukan melalui putusan pengadilan. Untuk itu kreditur harus menggugat debitur atas dasar wanprestasi. Akan tetapi sebelum menggugat debitur, kreditur harus melakukan somasi terlebih dahulu yang isinya agar debitur memenuhi prestasinya. Apabila debitur tidak juga memenuhi prestasinya, maka kreditur dapat menggugat debitur atas dasar wanpretasi, dengan mana apabila pengadilan memutuskan bahwa debitur telah wanprestasi, maka kreditur dapat melakukan eksekusi atas barang jaminan yang diberikan oleh debitur.
 
Jadi, dapat atau tidaknya barang jaminan dieksekusi tidak hanya bergantung pada apakah jangka waktu pembayaran kredit telah lewat atau tidak. Akan tetapi, apabila debitur melakukan prestasi yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, itu juga merupakan bentuk wanprestasi (keliru berprestasi atau melakukan tidak sebagaimana yang diperjanjikan) dan dapat membuat kreditur berhak untuk melaksanakan haknya mengeksekusi barang jaminan.
 
Namun, biasanya sebelum membawa perkara kredit yang bermasalah ke jalur hukum, dilakukan upaya-upaya secara administrasi terlebih dahulu. Drs. Muhamad Djumhana, S.H., dalam bukunya yang berjudul Hukum Perbankan di Indonesia (hal. 553-573), sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa mengenai kredit bermasalah dapat dilakukan penyelesaian secara administrasi perkreditan, dan terhadap kredit yang sudah pada tahap kualitas macet maka penanganannya lebih ditekankan melalui beberapa upaya yang lebih bersifat pemakaian kelembagaan hukum (penyelesaian melalui jalur hukum).
 
Menurut Djumhana, penyelesaian secara administrasi perkreditan antara lain sebagai berikut:
1.    Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat kredit yang menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktu termasuk masa tenggang, baik meliputi perubahan besarnya angsuran maupun tidak;
2.    Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu, dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo kredit dan konversi seluruh atau sebagian dari pinjaman menjadi penyertaan bank;
3.    Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat kredit berupa penambahan dana bank; dan/atau konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru, dan/atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan.
 
Sedangkan, penyelesaian melalui jalur hukum antara lain:
1.    Melalui Panitia Urusan Piutang Negara;
2.    Melalui badan peradilan;
3.    Melalui arbitrase atau Badan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
 
Oleh karena itu, memang barang jaminan dapat dilelang sebelum lewat jangka waktu pembayaran kredit dalam hal debitur melakukan tindakan wanprestasi lainnya. Meski demikian, ada baiknya ditempuh upaya-upaya secara administrasi terlebih dahulu untuk menyelesaikan kredit yang bermasalah sebelum melakukan gugatan ke pengadilan dan mengeksekusi barang jaminan.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
 

Eksekusi Jaminan

Pemberian hak kepada kreditur untuk mengeksekusi jaminan kebendaan yang diberikan oleh debitur dapat kita lihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata  (“KUHPer”) serta beberapa peraturan perundang-undangan berikut ini:
1.    Pasal 1155 KUHPer: Kreditur sebagai penerima benda gadai berhak untuk menjual barang gadai, setelah lewatnya jangka waktu yang ditentukan, atau setelah dilakukannya peringatan untuk pemenuhan perjanjian dalam hal tidak ada ketentuan jangka waktu yang pasti.
2.    Pasal 15 ayat (3) jo. Pasal 29 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU Jaminan Fidusia”): yang memberikan hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera janji (wanprestasi).
3.    Pasal 6 jo. Pasal 20 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah: yang memberikan hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera janji (wanprestasi).
 

Sabtu, 19 Oktober 2013

Syarat-syarat Perjanjian

Pasal 1320 KUHPer, perjanjian adalah sah jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.   kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2.   kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.   suatu pokok persoalan tertentu;
4.   suatu sebab yang tidak terlarang.

Menaikkan Harga Sewa Secara Sepihak

Putusan Mahkamah AgungNo. 2506 K/Pdt/2005. Dalam putusan ini, Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menyatakan tindakan PT Pantjoran Indah Murni menaikkan harga sewa secara sepihak kepada Sulaiman Iwan adalah sebuah perbuatan melawan hukum.

Sabtu, 12 Oktober 2013

Haruskah Nikah 2 Kali Dalam Kasus Kawin Hamil?

Jumat, 11 Oktober 2013
 
Pertanyaan:
 
Haruskah Nikah 2 Kali Dalam Kasus Kawin Hamil?
Assalamualaikum, saya mau tanya tentang menikahi seorang wanita yang sudah hamil. Apa haram hukumnya menikahi wanita itu? Apa harus nikah 2 kali? Mohon dibantu dan terima kasih.
adhimaz

Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt506aec66ed27e/lt506bc9aa28ce7.jpg
Kami kurang mendapatkan keterangan, apakah yang pria yang ingin menikahi wanita tersebut adalah pria yang menghamilinya atau bukan.
 
Jika pria tersebut ingin menikahi wanita yang dihamilinya, maka hal tersebut dapat dilakukan, karena tidak ada ketentuan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) yang melarang mengenai hal tersebut.
 
Menurut Pasal 1 UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
 
Selain itu jika kita melihat pada ketentuan mengenai perkawinan-perkawinan yang dilarang berdasarkan UU Perkawinan, dalam Pasal 8 UU Perkawinan, dikatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a.    berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b.    berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c.    berhubungan semenda, yaitu mertua,anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d.    berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
e.    berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f.     mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
 
Selain itu, mengenai perkawinan yang dilarang, terdapat juga dalam Pasal 9 dan Pasal 10 UU Perkawinan, yaitu:
a.    Perkawinan juga dilarang perkawinan antara seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali telah memenuhi syarat dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 UU Perkawinan (Pasal 9 UU Perkawinan).
b.    Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi,sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 UU Perkawinan).
 
Sedangkan jika dilihat dari Hukum Islam sendiri, dalam Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) diatur mengenai “kawin hamil”. Pasal 53 KHI mengatakan bahwa seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan tersebut dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
 
Jadi berdasarkan uraian di atas, bagi pria yang ingin menikahi wanita yang dihamilinya, UU Perkawinan tidak melarang perkawinan seperti itu. Dalam Hukum Islam sendiri, perkawinan seperti itu tidak haram, bahkan diperbolehkan. Selain itu, tidak perlu nikah 2 (dua) kali (dalam hal ini tidak perlu dilakukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir).
 
Sedangkan, jika seorang pria ingin menikahi wanita yang dihamili pria lain, mengenai hal tersebut juga tidak ada larangannya dalam UU Perkawinan maupun KHI.
 
Dalam Hukum Islam pun tidak ada pengaturan yang melarang hal tersebut. Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel yang berjudul Bagaimana Hukumnya Menikahi Perempuan yang Hamil di Luar Nikah?, KHI tidak mengatur secara eksplisit apakah perempuan yang hamil di luar nikah boleh dikawinkan dengan pria lain selain yang menghamilinya. Tapi, dari ketentuan Pasal 53 ayat (1) KHI secara tidak langsung membuka kemungkinan perempuan yang hamil di luar nikah untuk tidak dikawinkan dengan pria yang menghamilinya atau dikawinkan dengan pria selain yang menghamilinya. Karena, norma hukum yang ada dalam pasal tersebut bersifat kebolehan (menggunakan frasa “dapat”) dan bukan keharusan. Jadi, wanita yang hamil di luar nikah dapat dinikahkan dengan pria yang tidak menghamilinya. Namun, menurut hemat kami, dalam hal ini si perempuan terlebih dahulu harus memberi tahu mengenai kehamilannya tersebut kepada si calon suami. Atau jika kita melakukan penafsiran secara a contrario terhadap ketentuan Pasal 53 ayat (2) KHI, maka perkawinan perempuan yang hamil di luar nikah dengan pria yang tidak menghamilinya harus menunggu sampai si perempuan melahirkan.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
2.    Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.