Jawaban:
Salam sejahtera,
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) menganut prinsip nondiskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Hal ini terlihat dari Pasal 5 dan Pasal 6 UU Ketenagakerjaan:
Pasal 5 UU Ketenagakerjaan:
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.
Pasal 6 UU Ketenagakerjaan:
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.
Dalam Penjelasan Pasal 5 UU Ketenagakerjaan
dikatakan bahwa setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang
sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa
membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai
dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk
perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat.
Sedangkan, dalam Penjelasan Pasal 6 UU Ketenagakerjaan
dikatakan bahwa pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban
pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna
kulit, dan aliran politik.
Jika perusahaan melakukan tindakan diskriminatif kepada pekerjanya, perusahaan dapat dikenakan sanksi administratif (Pasal 190 ayat [1] UU Ketenagakerjaan). Sanksi adminisitratif tersebut berupa (Pasal 190 ayat [2] UU Ketenagakerjaan):
a. teguran;
b. peringatan tertulis;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pembatalan persetujuan;
f. pembatalan pendaftaran;
g. penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi;
h. pencabutan ijin.
Mengenai pemberhentian wanita tersebut karena dirinya kurang cantik, pada dasarnya dalam Pasal 153 ayat (1) huruf i UU Ketenagakerjaan dikatakan bahwa pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:
karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
Pemutusan
hubungan kerja karena alasan-alasan di atas batal demi hukum
dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang
bersangkutan (Pasal 153 ayat [2] UU Ketenagakerjaan).
Jadi, perbuatan bos/pengusaha tersebut tidak dapat dibenarkan melihat pada ketentuan-ketentuan UU Ketenagakerjaan di atas.
Jika
pekerja wanita yang bersangkutan tidak dapat menerima keputusan
perusahaan terkait pemutusan hubungan kerja tersebut (baik karena memang
alasannya adalah kurang cantik atau itu hanya asumsi dari si wanita),
ini berarti terdapat perselisihan pemutusan hubungan kerja.
Perselisihan pemutusan hubungan kerja
adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu
pihak. Demikian definisi yang diatur Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU No. 2/2004”).
Dalam
hal terjadi perselisihan pemutusan hubungan kerja, wajib diupayakan
penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara
musyawarah untuk mencapai mufakat (Pasal 3 ayat [1] UU No. 2/2004).
Jika perundingan bipartit tidak berhasil, maka salah satu atau kedua
belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa
upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan (Pasal 4 ayat [1] UU No. 2/2004).
Setelah
menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan
kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui
konsiliasi atau melalui arbitrase (Pasal 4 ayat [3] UU No. 2/2004).
Karena dalam hal ini yang terjadi adalah perselisihan pemutusan
hubungan kerja, maka yang ditawarkan adalah penyelesaian melalui
konsiliasi (Pasal 4 ayat [5] UU No. 2/2004). Dalam hal
penyelesaian melalui konsiliasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah
satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan
Industrial (Pasal 5 UU No. 2/2004).
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar