Translate

Mukaddimah

Assalaamu'alaikum wr wb.

Selamat datang di blog "Kantor Advokat/Hukum "Drs M Harun, SH & Rekan". Semoga ada kesan indah yang akan Anda dapatkan di blog ini. Aamiin!

Atas perhatian Anda, kami ucapkan banyak terima kasih.

Salam hormat kami,
Kantor Advokat/Hukum "Drs M Harun, SH dan Rekan"
Ringroad Selatan Ds Gonjen RT 05 No. 34
Tamantirto Kasihan Bantul DIY 55183 HP 0895 3093 9061 Email : harunmhmmd@gmail.com

Jumat, 20 September 2013

Bolehkah Perusahaan Mem-PHK Pekerja Wanita Karena Kurang Cantik?

Hukum Online, Kamis, 19 September 2013
 
Pertanyaan:
 
Bolehkah Perusahaan Mem-PHK Pekerja Wanita Karena Kurang Cantik?
Assalamu ‘alaikum. Pernah saya menemui seorang wanita yang diberhentikan oleh bos perusahaan karena wajahnya kurang ideal. Padahal wanita itu telah beberapa bulan bekerja di perusahaan tersebut, namun suatu ketika bos perusahaan tersebut melihat wanita itu bekerja dan kemudian karena melihat wajah wanita itu kurang cantik, dengan tegasnya bos tersebut memberhentikan wanita itu. Apakah boleh perbuatan bos tersebut menurut UUK dan bagaimana tindakan hukum yang akan diajukan oleh wanita tersebut?
Idris Hararongga

Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt506aec66ed27e/lt506bc9aa28ce7.jpg
Salam sejahtera,
 
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) menganut prinsip nondiskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Hal ini terlihat dari Pasal 5 dan Pasal 6 UU Ketenagakerjaan:
 
Pasal 5 UU Ketenagakerjaan:
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.
 
Pasal 6 UU Ketenagakerjaan:
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.
 
Dalam Penjelasan Pasal 5 UU Ketenagakerjaan dikatakan bahwa setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat.
 
Sedangkan, dalam Penjelasan Pasal 6 UU Ketenagakerjaan dikatakan bahwa pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik.
 
Jika perusahaan melakukan tindakan diskriminatif kepada pekerjanya, perusahaan dapat dikenakan sanksi administratif (Pasal 190 ayat [1] UU Ketenagakerjaan). Sanksi adminisitratif tersebut berupa (Pasal 190 ayat [2] UU Ketenagakerjaan):
a.    teguran;
b.    peringatan tertulis;
c.    pembatasan kegiatan usaha;
d.    pembekuan kegiatan usaha;
e.    pembatalan persetujuan;
f.     pembatalan pendaftaran;
g.    penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi;
h.    pencabutan ijin.
 
Mengenai pemberhentian wanita tersebut karena dirinya kurang cantik, pada dasarnya dalam Pasal 153 ayat (1) huruf i UU Ketenagakerjaan dikatakan bahwa pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:
 
karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
 
Pemutusan hubungan kerja karena alasan-alasan di atas batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan (Pasal 153 ayat [2] UU Ketenagakerjaan).
 
Jadi, perbuatan bos/pengusaha tersebut tidak dapat dibenarkan melihat pada ketentuan-ketentuan UU Ketenagakerjaan di atas.
 
Jika pekerja wanita yang bersangkutan tidak dapat menerima keputusan perusahaan terkait pemutusan hubungan kerja tersebut (baik karena memang alasannya adalah kurang cantik atau itu hanya asumsi dari si wanita), ini berarti terdapat perselisihan pemutusan hubungan kerja.
 
Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. Demikian definisi yang diatur Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU No. 2/2004”).
 
Dalam hal terjadi perselisihan pemutusan hubungan kerja, wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat (Pasal 3 ayat [1] UU No. 2/2004). Jika perundingan bipartit tidak berhasil, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan (Pasal 4 ayat [1] UU No. 2/2004).
 
Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase (Pasal 4 ayat [3] UU No. 2/2004). Karena dalam hal ini yang terjadi adalah perselisihan pemutusan hubungan kerja, maka yang ditawarkan adalah penyelesaian melalui konsiliasi (Pasal 4 ayat [5] UU No. 2/2004). Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial (Pasal 5 UU No. 2/2004).
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar