Jawaban:
Kami
kurang mendapatkan keterangan, apakah yang pria yang ingin menikahi
wanita tersebut adalah pria yang menghamilinya atau bukan.
Jika pria tersebut ingin menikahi wanita yang dihamilinya, maka hal tersebut dapat dilakukan, karena tidak ada ketentuan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) yang melarang mengenai hal tersebut.
Menurut Pasal 1 UU Perkawinan,
perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selain itu jika kita melihat pada ketentuan mengenai perkawinan-perkawinan yang dilarang berdasarkan UU Perkawinan, dalam Pasal 8 UU Perkawinan, dikatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b. berhubungan
darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara
seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua,anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan
saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri,
dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Selain itu, mengenai perkawinan yang dilarang, terdapat juga dalam Pasal 9 dan Pasal 10 UU Perkawinan, yaitu:
a. Perkawinan
juga dilarang perkawinan antara seseorang yang masih terikat tali
perkawinan dengan orang lain, kecuali telah memenuhi syarat dalam Pasal 3
ayat (2) dan Pasal 4 UU Perkawinan (Pasal 9 UU Perkawinan).
b. Apabila
suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan
bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh
dilangsungkan perkawinan lagi,sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 UU Perkawinan).
Sedangkan jika dilihat dari Hukum Islam sendiri, dalam Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) diatur mengenai “kawin hamil”. Pasal 53 KHI
mengatakan bahwa seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan
dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan tersebut dapat dilangsungkan
tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Dengan dilangsungkannya
perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Jadi
berdasarkan uraian di atas, bagi pria yang ingin menikahi wanita yang
dihamilinya, UU Perkawinan tidak melarang perkawinan seperti itu. Dalam
Hukum Islam sendiri, perkawinan seperti itu tidak haram, bahkan
diperbolehkan. Selain itu, tidak perlu nikah 2 (dua) kali (dalam hal ini
tidak perlu dilakukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung
lahir).
Sedangkan,
jika seorang pria ingin menikahi wanita yang dihamili pria lain,
mengenai hal tersebut juga tidak ada larangannya dalam UU Perkawinan
maupun KHI.
Dalam
Hukum Islam pun tidak ada pengaturan yang melarang hal tersebut.
Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel yang berjudul Bagaimana Hukumnya Menikahi Perempuan yang Hamil di Luar Nikah?,
KHI tidak mengatur secara eksplisit apakah perempuan yang hamil di luar
nikah boleh dikawinkan dengan pria lain selain yang menghamilinya.
Tapi, dari ketentuan Pasal 53 ayat (1) KHI secara tidak langsung
membuka kemungkinan perempuan yang hamil di luar nikah untuk tidak
dikawinkan dengan pria yang menghamilinya atau dikawinkan dengan pria
selain yang menghamilinya. Karena, norma hukum yang ada dalam pasal
tersebut bersifat kebolehan (menggunakan frasa “dapat”) dan bukan
keharusan. Jadi, wanita yang hamil di luar nikah dapat dinikahkan dengan
pria yang tidak menghamilinya. Namun, menurut hemat kami, dalam hal ini
si perempuan terlebih dahulu harus memberi tahu mengenai kehamilannya
tersebut kepada si calon suami. Atau jika kita melakukan penafsiran
secara a contrario terhadap ketentuan Pasal 53 ayat (2) KHI, maka
perkawinan perempuan yang hamil di luar nikah dengan pria yang tidak
menghamilinya harus menunggu sampai si perempuan melahirkan.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
2. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar