Tri Jata Ayu Pramesti, Hukum Online 04-12-2013
Dalam artikel berjudul Mengurai Kebenaran di Antara Kebohongan yang Berserakan yang kami akses dari laman resmi Pengadilan Negeri Palopo Sulawesi Selatan dikatakan bahwa untuk menerapkan Pasal 242 KUHAP harus memperhatikan ketentuan dalam Pasal 174 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”):
Pasal 242 KUHAP harus memperhatikan ketentuan dalam Pasal 174 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”):
Dalam artikel berjudul Mengurai Kebenaran di Antara Kebohongan yang Berserakan yang kami akses dari laman resmi Pengadilan Negeri Palopo Sulawesi Selatan dikatakan bahwa untuk menerapkan Pasal 242 KUHAP harus memperhatikan ketentuan dalam Pasal 174 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”):
Pasal 242 KUHAP harus memperhatikan ketentuan dalam Pasal 174 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”):
(1) Apabila
keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang
memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan
keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat
dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu;
(2) Apabila
saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena
jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat
memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut
perkara dengan dakwaan sumpah palsu;
(3) Dalam
hal yang demikian oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan
sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan
persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu dan berita acara
tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta panitera dan
segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut
ketentuan undang-undang ini;
(4) Jika
perlu hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula
sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai.
Lebih
lanjut dalam artikel tersebut diketahui sebuah contoh kasus penerapan
Pasal 242 ayat (1) KUHP jo. Pasal 174 KUHAP karena saksi mengingkari
keterangannya. Kasus tersebut tentang Hakim Pengadilan Negeri Makassar,
pada tahun 1994, yang memerintahkan kepada polisi untuk menahan salah
seorang saksi “kasus Karunrung” (pembunuhan terhadap satu keluarga di
Kelurahan Karunrung, Makassar) yang mengingkari keterangannya di depan
sidang pengadilan dengan alasan ditekan secara psikis dan fisik oleh
penyidik saat diperiksa. Hakim Ketua meminta kepada Jaksa Penuntut Umum
pada sidang berikutnya menghadirkan penyidik yang memeriksa saksi (saksi
verbalis).
Ternyata,
setelah dikonfrontir di depan sidang pengadilan antara saksi yang
mengingkari keterangannya dengan penyidik (saksi verbalis), hakim yakin
bahwa penyidik tidak melakukan penyiksaan atau tekanan psikis atau fisik
terhadap saksi saat diperiksa, sehingga Hakim Ketua memerintahkan
polisi agar menahan saksi dan memprosesnya karena diduga melanggar Pasal
242 ayat (1) KUHP. Akhirnya, saksi bersangkutan lebih dahulu dijatuhi
pidana penjara satu tahun tiga bulan sebelum terdakwa pada perkara pokok
dijatuhi pidana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar